KH. Abdul Aziz Syahmarie dan keluarga/Foto Azizun |
“Anak-Bojo” adalah ungkapan dalam bahasa Jawa yang punya
arti “anak dan istri”. Istilah ini sangat melekat dengan obrolan para suami
jika ditanya tentang tujuan mereka bekerja keras atau hal-hal lain yang bersangkutan
dengan kewajiban memberi nafkah kepada keluarga.
“kowe ki jungkir balik, sikil nggo ndas ndas nggo sikil, awan bengi mutar muter nggolet rezkine gusti allah kui kanggo sopo yen ora kanggo nafkahi anak-bojo ?”
Tapi pernahkah terbesit di pikiran panjenengan, kok ya mesti
diungkapkan dengan kata “anak bojo” bukan sebaliknya “bojo anak” ? bukankah
artinya akan tetep sama ?
Jika hal itu ditanyakan kepada mereka yang sudah
berkeluarga, pasti jawabannya adalah karena kepentingan anak-anak menjadi prioritas
utama. Setelah itu baru kebutuhan istri dan kebutuhan lainnya. Tapi adakah
jawaban selain logika tersebut ?
KH. Abdul Aziz Sy, dalam tausiyahnya pada acara halal bihalal santri dan alumni Pon Pes Mislahul Muta'allimin di desa Semaya Randudongkal kab. Pemalang pernah
menjelaskan kaitan antara kebiasaan pengucapan istilah anak-bojo dan filosofi
yang terkandung di dalam kalimat tersebut. Dan setidaknya ada beberapa alasan
dan hikmah di balik penggunaan kalimat yang terkesan sepele tersebut.
Anak Lebih Dulu Hadir Sebelum Adanya Istri
Menurut pengasuh Pon Pes Mislahul Muta’allimin Karangtengah
ini, kata “anak” lebih didahulukan dari pada kata “bojo” bukan tanpa
alasan.
“Sejatinya bagi seorang suami anugrah mempunyai anak
datangnya lebih dulu dari pada anugrah mendapatkan seorang istri. Anugrah itu
diletakkan pada tulang sumsum belakang seorang laki-laki baligh yang menjadi air mani dan kelak menjadi cikal
bakal lahirnya seorang anak.”
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia di ciptakan ? Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sumsum dan tulang dada” (Qs. At Thariq 5-7)
“Begitupun sebaliknya, bagi seorang istri, anugrah mendapat
(bakal) anak berupa indung telur yang berada dalam rahim seorang wanita yang
sudah mengalami siklus haid. Sebagaimana diketahui indung telur lah yang
kemudian akan di buahi oleh sel sperma dan kemudian dengan izin allah akan
menjadi segumpal darah dan selanjutnya menjadi jabang bayi.” Demikian penjelasan Mursyid Thoriqoh
Syathoriyah ini.
Nah, sudah jelaskan jika karunia anak bagi manusia bukanlah
semata-mata siklus kehidupan yang tidak punya makna.
Hikmah di Balik Penciptaan
Dari penjelasan di atas kemudian beliau mencocoklogi-kan kaitan mengapa tempat
asal “bakal anak” berbeda antara laki-laki dan perempuan.
“Dia-lah yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu. kemudian Dia (berkehendak) menciptakan langit, lalu Dia menjadikannya tujuh tingkat. dan Dia Maha Mengetahui sesuatu (Qs Al Baqarah :29)”
Berkaca dari ayat diatas, pastilah ada hikmah mengapa sel sperma pria di letakkan
di bagian tulang sumsum (gēgēr-red)
bukan di bagian tangan atau ditempat
lainnya ?
KH. Abdul Aziz Sy kemudian menjelaskan, sel sperma yang ada pada laki-laki bertempat
di tulang sumsum belakang(gēgēr-red) di
andaikan seperti seseorang yang memikul (manggul), dan indung telur yang ada pada rahim seorang
wanita di andaikan seperti seseorang yang tengah mengemban (nggondol- jawa).
Laki-laki (bapak) memang sudah di kodratkan untuk memikul
atau menanggung segala kebutuhan sang anak, baik dari segi materi maupun
ruhani. Mengayomi dan mensejahterakan anak-anak sudah menjadi tanggung jawab
dan itu di simbolkan oleh allah dengan menaruh sel sperma yang menjadi bakal
bagi keturunannya di sumsum tulang belakang bagian atas.
“Makanya kalau ada seorang bapak yang males-malesan
menafkahi anaknya, itu namanya melawan kodrat” kata KH. Abdul Aziz Sy
Sementara wanita, di takdirkan untuk mengemban (nggondol)
dalam artian memberikan kasih sayang (penulis mengandaikan seperti ibu yang
memeluk dengan dekapan kasih sayang agar anak merasa nyaman) dan itu di
simbolkan dengan menempatkan indung telur pada rahim seorang wanita.
Secara gampangnya, wanita harus lebih mengambil peran penting
dalam pertumbuhan emosional anak-anaknya karena secara naluri mereka lebih
dekat kepada ibunya. Tidak seharusnya
wanita mengabaikan tanggung jawab tersebut dengan dalih sibuk untuk bekerja
ataupun alasan lainnya.
Pada penutup tausiyahnya, KH. Abdul Aziz kemudian menekankan
pentingnya kerjasama antara suami dan istri dalam membentuk karakter anak
sehingga menjadi yang sholeh atau sholikhah, di antaranya adalah dengan memberi
makanan yang halal dan sebisa mungkin menghindari hal-hal yang subhat. Karena
dari hal yang kotor (haram) tidak mungkin akan berbuah menjadi hal yang bersih
(baik).
Cara lain yang bisa ditempuh adalah dengan mendidik
putra-putri di Pondok Pesantren yang salafy, dalam artian pesantren berbasis
tradisional namun juga tidak menghilangkan sistem pendidikan umum yang bisa
membantu para santrinya dalam menghadapi zaman yang modern seperti sekarang
ini.