Sawang pinawang



"nikmat yang tuhan berikan itu sama rasanya, kemasannya saja yang berbeda.

 Jika nafsu yang menguasai jiwa kita, maka akan selalu penasaran dengan nikmat yang menjadi hak orang lain. 

Alih-alih bersukur dengan nikmat sendiri malah kepengin memiliki hak orang lain"

Pagi itu seperti biasa suasana di sudut persawahan desa tempat tinggalku, tampak sudah ramai dengan warga yang sedang menggarap sawah masing-masing, sementara di bawah perbukitan yang jadi sawah tersebut ada aliran sungai yang jernih tempat para ibu-ibu mencuci pakaian.

Ada  kebiasaan buruk para petani yang lumayan ngĕnĕki yaitu mengintip istri kang muji saat sedang mencuci pakaian di sungai. Kang muji adalah salah satu ustadz yang cukup di segani di desa tersebut, dan istrinya memang dikenal cukup cantik bagi ukuran masyarakat sekitar. Kulitnya bersih, kuning langsat dan senyumnya itu lho membuat siapapun tertegun klepek-klepek. Jadi bukan tanpa alasan para warga demen ngintip isrti kang Muji. Padahal kalo istri kang muji lagi nyuci, ia mengenakan pakaian yang tertutup rapi.

Melihat kebiasaan tersebut kang Muji memutar otak untuk mencari cara agar dapat mengingatkan warga namun tetap dengan menggunakan cara yang elegan. Setelah berfikir cukup lama dan tanpa lupa berkonsultasi dengan mbah Gogel ahirnya kang Muji memutuskan untuk mengundang makan warga sekitar.

Disiapkanlah segala jenis makanan lezat yang  mengunadang selera. Dengan bahan dasar sama dari ubi singkong namun di buat sedikian rupa agar kelihatan menawan dan menggugah nafsu makan.
Tibalah saat warga sudah berkumpul di rumah kang Muji, mereka menanyakan apa gerangan warga diundang makan bersama. Dengan mimic wajah yang ceria kang Muji menjelaskan bahwa beliau baru saja mendapat nikmat besar dan berkeinginan untuk berbagi.

Saat makanan di hidangkan semua mata terbelalak melihat begitu banyak makanan yang menggugah selera. Setiap orang mendapat hidangan berbeda dari yang lain. Tanpa di persilahkan mereka pun menikmatinya.

Namun siapa nyana, singkong tetaplah singkong. Salah satu warga berbisik lirih dengan orang disebelahnya,

“kang.. ko jatah saya rasanya ubi singkong yah…” bisik karman

“lah… sama saja kang Man.. aku ya rasa singkong, modelnya saja yang beda” jelas orang sebelah karman

Kelihatannya semua yang hadir malam itu berpikiran sama, menganggap hidangan orang lain lebih enak dari miliknya. Sampai tiba saatnya kang Muji keluar menyapa warga yang hadir

“ Bagaimana sodara .. selamat menikmati hidangannya yah??” sapa kang Muji

“menikmati appa… wong sama aja singkong, dirumah juga ada..
Dibela-belain tadi ngga makan dirumah, eh disini sama saja” celetuk karman

Karman memang terkenal  asal njeplak kalo ngomong, tidak pandang siapa lawan bicaranya. Mendengar celetukan tersebut kang Muji pun langsung menjelaskan

“ begini para warga yang terhormat…”
“sebenernya nikmat yang tuhan berikan itu sama rasanya, kemasannya saja yang berbeda. Jika nafsu yang menguasai jiwa kita, maka akan selalu penasaran dengan nikmat yang menjadi hak orang lain. Alih-alih bersukur dengan nikmat sendiri malah kepengin memiliki hak orang lain” jelas kang Muji

“terus apa maksud semua ini…” Karman menyela

“ Sama juga istri-istri Bapak-bapak sekalian, bukankah itu termasuk nikmat buat kalian?”
“ lha wong sudah di kasih masing-masing masa masih penasaran dengan istri orang..? toh rasanya juga sama saja kan..?” jelas kang Muji sambil plesam plesem

“hoooo…. Astaghfirloooh…….” Seru semua hadirin

Muka mereka merah padam, terasa berat untuk menengadah keatas, apalagi menatap kang Muji. Mereka malu dengan kekonyolan yang selama ini mereka lakukan. Dan tanpa di komando mereka pamit satu persatu sambil meminta maaf kepada kang Muji.

tangerang, 20 september 2016
Di inspirasi dari cerita lawas abu nawas.





Postingan terkait: