“ aku melayang di awan bagai kapas tipis yang mengikuti irama angin berhembus, menembus awan dan mengarungi samudra biru. Nun jauh disana ada pemandangan elok dengan pohon nyiur yang tampak melambai, dan saat itu pula aku menghampiri. Ku lihat hamparan padang yang hijau dan menawan, diwarnai oleh bunga-bunga yang berkembang nan wangi yang semerbak serta gemercik air yang merdu bagai nyanyian syahdu “
“ aku celingak celinguk sendiri merasa heran dibumi manakah ada padang secantik ini, semua serba tersedia dari segala jenis buah-buahan yang manis, makanan yang semuanya lezat dan istana yang megah lengkap dengan pelayan yang menawan. Tidak ada yang tidak mungkin disini, tinggal ngomong semua langsung terkabul. Kantong ajaib doraemon kalah jauhlah pokoknya, kalau doraemon hanya mengeluarkan alat kalau disini langsung wujud.”
“lama aku bengong, tampak sesosok lelaki dengan jenggot putih panjang tergerai menghampiriku yang masih planga plongo, mulutku pun melompong seperti mulut gua.
“apa yang kau kagumi dari pemandangan di depan..??”
“semua kenikmatan yang kamu lihat belum seberapa…” kata sosok itu dengan wibawa
“nikmat yang paling agung yaitu ketika kamu duduk bersama pemilik padang ini…”
“pulanglah disini bukan tempat engkau mencari pemilik padang ini”
Dan mbok jlegidag…
Aku terjatuh dari bale bambu, tempat yang menjadi peraduan aku setelah lelah seharian ndorong grobag. Dalam hati aku penasaran, “apa iya itu gambaran surga?”. Lama aku merenungi namun kubuang saja angan-angan itu mengingat siapalah aku ini bisa bermimpi ada di surga.
Sampai suatu ketika mas Muji mampir ke gubug tempat tinggalku. Mas muji adalah penduduk biasa seperti kebanyakan namun ahlak dan pituturnya sangat lembut dan penuh dengan mutiara kasih. Umurnya masih muda tapi tingkat nalarnya jauh melebihi umurnya.
“Anta maqsudii wa ridloka mathluubii..” ucap mas muji setelah aku menyuguhkan kopi di hadapannya. Entah kenapa mas muji langsung mengucapkan kata-kata tersebut. Sambil cengengesan seperti biasanya, mas muji mulai cerita sana sini tentang nikmatnya hidup.
“nikmatnya hidup itu tergantung apa yang dirasakan di dalam hati, jika hati sempit ya semua jadi sempit walaupun hidup di padang yang luas pun akan terasa sempit. Sebaliknya jika hati lapang, maka semua juga akan terasa lapang, walaupun hidup di gubug reot semacam ini..” cerocos mas muji
“maksude apa mas…?” tanyaku
“ lha nikmat terbesar itu kalau hati sudah terpaut dengan dzat yang telah memberi kenikmatan sehingga tidak silau dengan kenikmatan itu sendiri. Jadi tidak mengeluh kalau di kasih kesusahan dan tidak girang ketika di coba kesenangan. Tapi kaya gitu berat melakukannya..” jelas mas muji.
“lho… jadi kenikmatan juga termasuk cobaan ya mas…?” tanyaku
“ ya mungkin seperti itu, lha wong kita hidup ini kan tujuannya pasti pulang ke hadirat tuhan kan? Bukan mencapai kenikmatan atau kesengsaraan setelah kontrak hidup kita selesai.”
“ jika kita hanya mencari kebahagiaan setelah mati dengan menumpuk banyak amal dan ndilalah masuk surge misalnya, kemudian disana di cueki gusti alloh apa iya ngga malu..? penduduk lainnya di sapa, di ajak kongkow misalnya, lha kita di cuekin karena pada awalnya tujuan kita hanya mencari kenikmatan surgawi belaka. Dan perlu tau saja nikmat yang ngga akan pernah ada habisnya ya.. ketika sedang bersama Allah di surge.” kata mas muji.
“ow… jadi itu maksud dari ucapan njenengan tadi itu yah.. Anta Maqsuudii wa ridloka mathluubii…” Tanyaku lagi
“ee.. embuuh… emang aku tadi ngomong apa??” jawab mas muji sambil ngacir….
dalam batin saya membisik, apakah ini arti dari mimpiku tempo hari ? ah... hanya rumput yang bergoyang yang bisa menjawabnya.
Tangerang, 17 September 2016