Rahasia Slametan setelah kematian dalam adat Jawa


Sudah menjadi kebiasaan bagi muslim bahwa setelah seseorang telah dimakamkan, maka pada malam harinya banyak orang yang berkumpul untuk tahlilan ataupun sekedar menghibur bagi keluarga yang ditinggalkan. Bahasa agama menyebutnya “takziyah”. Dan bagi keluarga yang ditinggalkan akan mengadakan acara Slametan (arti selengkapnya disini)


Slametan diserap dari bahasa arab Salamah  yang mempunyai arti selamat atau damai. Pada dasarnya tujuan slametan adalah sedekahan dengan harapan dijauhkan dari hal-hal yang membahayakan baik untuk keluarga yang ditinggalkan ataupun bagi ahli kubur itu sendiri.

Biasanya mereka yang berkumpul akan mendoakan ahli kubur dengan membaca surat Yasin dan bacaan tahlil. Pada daerah tertentu seperti tempat kelahiran penulis, Brebes dan sekitarnya, Yasinan dan tahlilan dilaksanakan sampai tujuh hari.

Pada tiga hari pertama biasanya warga yang slametan dikasih brekat (makanan beserta lauk pauk yang biasanya ditempatkan di ember atau bakul kecil, namun pada masa kekinian modelnya berubah bukan lagi makanan mateng melainkan bahan-bahan pokok makanan yang masih mentah). Begitu pula ketika pada waktu tujuh hari, warga yang slametan mendapat brekatnamun porsinya lebih banyak dari sebelumnya.

Pelaksanaan slametan biasanya berlanjut sampai pada hari ke 40 (matang puluh), pada hari ke 100 (nyatus), pada hari peringatan genap tahun pertama (mendak pisan), pada peringatan genap tahun kedua (mendak pindo), pada peringatan genap tahun ke tiga (mendak ping telu) atau slametan terahir yang menandai telah 1000 hari. Biasanya dengan disertai ritual mengganti batu nisan.

Banyak ahli sejarah yang mengaitkan pelaksanaan slametan peringatan tersebut dengan proses pembusukan tubuh yang mati sebelum pada ahirnya melebur dengan tanah. Dalam kondisi normal, proses peleburan jasad manusia berlangsung dalam tujuh tahap.

Tahap Pertama


Tahap pertama adalah tiga hari setelah jasad dimakamkan ketika diyakini jasad mulai membengkak. Mungkin inilah alasan kenapa tali pocong harus dilepaskan ketika mayit dikuburkan.

Tahap Kedua


Tahap kedua adalah hari ketujuh, ketika pembengkakan menuju puncaknya dan ahirnya meletus. Setelah itu daging hancur, terurai dan kemudian membusuk.

Tahap Ketiga 


Setelah 40 hari yaitu tahap ke tiga, proses pembusukan ini diikuti dengan pergerakan tubuh secara perlahan namun pasti, Kepala perlahan mulai tegak seperti halnya lutut.

Tahap Ke Empat

Sementara pada hari ke-100 yang menjadi tahap ke empat tubuh yang membusuk berubah menjadi seperti orang duduk tegak dengan lutut tertekuk keatas.

Tahap ke Lima

Pada tahap ke lima atau setahun setelah kematian, lambat laun kepala akan mencapai lutut.

Tahap ke Enam

Setahun kemudian atau tahap ke enam, setelah semua daging sudah hancur tak tersisa, kaki jenazah akan tertekuk sampai kebawah pantat, sedangkan kepala menyatu dengan lutut.

Tahap ke Tujuh

Ahirnya pada tahap ketujuh waktu tahun ke tiga atau 1000 hari, semua tulang akan terkumpul bersama sebelum kemudian ahirnya melebur dengan tanah.

Jika diamati gerakan tulang dalam proses pembusuka ini akan sama dengan gerakan pertumbuhan jabang bayi dalam alam kandungan namun dengan arah yang terbalik. Pada ilmu sufi yang bersumber dari tarekat syathoriyah ini ( berasal dari lingkungan kasepuhan Cirebon), proses ini mengandung arti mistis, sehingga dalam setiap proses layak untuk diperhatikan dan atas alasan inilah mengapa slametan perlu dilaksanakan.

Nah, begitulah kiranya adat para leluhur kita yang sangat kaya akan ilmu pengetahuan yang jauh melampaui akal pemikiran orang zaman modern. Semua dilandasi oleh ilmu ilahiyah yang sangat jarang dimiliki manusia pada umumnya. Jadi bersyukurlah dan jangan malu untuk tetap melestarikan ajaran leluhur.

sumber: Islam dalam bingkai kebudayaan lokal, potret dari cirebon. Dr. Muhaimin AG, cetakan PT Logos Wacana Ilmu, Februari 2000

Postingan terkait: