“ Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anakm perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin : “hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya (keseluruh tubuh mereka)”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu, dan Allah adalah maha pengampun lagi Maha Penyayang. QS. Al Ahzab : 59
Al Biqai (Ibrahim Ibn Umar Al Biqa’I 809-885 H/1406-1480 M) menjelaskan beberapa pendapat tentang makna jilbab. Diantaranya adalah baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang di pakainya. Atau bisa juga pakaian yang menutupi badan wanita.
Kalau yang di maksud jilbab adalah baju, maka ia adalah pakaian yang menutupi kaki dan tangannya. Kalau diartikan kerudung, maka perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya. Kalau yang dimaksud adalah pakaian yang menutupi baju maka artinya melonggarkan pakaian sehingga menutupi semua badan dan pakaian. ( Al Biqa’I, 1995:135)
Hampir semua ulama sepakat bahwa perintah itu berlaku sepanjang zaman, namun ulama kontemporer memahaminya hanya berlaku pada zaman Nabi Muhammad Saw, karena pada waktu itu masih ada perbudakan dan diperlukan adanya pembeda antara wanita merdeka dan hamba sahaya, serta bertujuan menghindarkan lelaki yang usil.
Menurut penganut pemahaman yang terahir ini, jika tujuan tersebut sudah bisa dicapai oleh cara lain, maka ketika itu pakaian yang di kenakan telah sejalan dengan perintah agama. Terlepas apapun makna jilbab yang di yakini oleh para mufassir, yang lebih penting menurut Quraish Shihab adalah apakah perintah itu hanya berlaku pada zaman Nabi Muhammad atau sepanjang zaman ?
Quraish Shihab berpandangan perintah itu hanya berlaku pada zaman Nabi Muhammad Saw sebab adanya masalah yang diterangkan diatas. Beliau berpendapat sebelum turunnya ayat ini, cara berpakaian wanita merdeka dan hamba sahaya (baik yang sopan atau kurang sopan) bisa di katakana sama. Karena itu lelaki seringkali usil mengganggu wanita-wanita khususnya yang mereka ketahui atau di duga hamba sahaya. Untuk mencegah hal tersebut dan menampakkan kehormatan wanita muslimah maka diturunkanlah ayat tersebut. (Shihab,2006:309)
Perbedaan pendapat dalam menentukan batasan aurat wanita
Hadits dari Abdullah bin Abbas R.A, ia berkata :
“ Rasululoh Saw membonceng Al Fadhl putra Al Abbas RA pada hari An Nahr (lebaran Haji) di belakang kendaraan (unta) beliau. Al Fadhl adalah seorang pria yang berseri (gagah). Nabi Saw, memberi fatwa kepada khalayak, lalu datang seorang perempuan dari suku khats’am, berseri (cantik) dan bertanya kepada Rosul Saw. Al fadhl terus menerus memandangnya dan kecantikan perempuan itu menakjubkannya,maka nabi menoleh sedang Al Fadhl melihat kepada perempuan itu, lalu nabi memalingkan dagu Al Fadhl dengan tangan beliau, beliau memalingkan wajah Al Fadhl dari pandangan kepada perempuan itu. Lalu wanita itu berkata “ sesungguhnya kewajiban yang ditetapkan Allah atas hamba-hambaNya adalah haji, tetapi saya mendapatkan ayah saya dalam keadaan tua tidak mampu duduk diatas kendaraan, maka apakah boleh saya menghajikan untuknya?” Nabi menjawab “ya”. HR Bukhari
Para ulama tidak mempermasalahkan keshokhehan hadits tersebut, tetapi ada beberapa pandangan berbeda tentang makna hadits tersebut, dimana hadits ini menunjukkan ada bagian dari tubuh perempuan yang boleh di lihat dan tidak boleh.
Pertama; perbuatan Nabi saw memalingkan wajah Al Fadhl menunjukkan adanya larangan menampakkan wajah perempuan, kalau hal itu di bolehkan tentu nabi tidak akan berbuat demikian.
Kedua; bisa jadi kecantikan perempuan tersebut di lihat dari bentuk tubuh atau jari-jemarinya, kalaupun wajahnya terbuka itu karena sedang berihram, wanita yang berihram boleh membuka wajahnya.
BACA JUGA ;
Hukum Aqikah anak laki-laki dengan menggunakan seekor kambing
BACA JUGA ;
Hukum Aqikah anak laki-laki dengan menggunakan seekor kambing
Ketiga; ulama yang mengecualikan wajah dan telapak tangannya adalah aurat menjelaskan dengan alasan bahwa nabi memalingkan wajah al Fadhl bukan karena wajah adalah aurat tetapi nabi khawatir hadirnya syaitan yang menjerumuskan jika kedua pandangan itu dilanjutkan mengingat keduanya adalah pemudan dan pemudi. Selain itu wanita dinilai cantik tanpa melihat wajahnya dan hanya melihat bentuk tubuhnya adalah hal yang mustahil, lagi pula tempat kejadian itu terjadi di Mina, berarti peremuan itu telah bertahallul (sudah tidak menggunakan pakaian ihram).
Quraish Shihab berpendapat bahwa wanita dalam hadits itu terlihat cantik, tanpa menjelaskan lebih rinci wajah dan telapak tangannya terbuka atau tidak. Memang kecantikan sangat mudah di lihat melalui wajah dan itu sangat logis. Bahkan jika ada yang mengatakan selain wajahnya (misalkan setengah tangannya atau lebih dari itu) maka tidak dapat ditolak dengan hadits diatas. (Shihab, 2006:107)
Sekali lagi Quraish Shihab menegaskan bahwa kenyataan dalil yang dikemukakan oleh para ulama tidak sampai pada batas yang dapat membuktikan secara pasti pendapat masing-masing.
Kesimpulannya adalah ulama masa lalu dan kontemporer (masa kini) berbeda pendapat tentang apakah wajah atau telapak tangannya adalah aurat atau bukan. Namun Quraish Shihab memahami maksud dari QS Al Ahzab 59 yang memerintahkan wanita mengulurkan jilbab dengan tujuan untuk membedakan wanita terhormat dengan hamba sahaya dan tidak di ganggu oleh lelaki usil.
Adapun pada masa sekarang, ketika sistem perbudakan tidak ada lagi dan pada konteks masarakat tertentu kehormatan tidak simbolkan dengan jilbab. Maka yang demikian itu yang penting dalam konteks pakaian wanita adalah dengan memakai pakaian yang terhormat (sesuai dengan perkembangan budaya positif masyarakat terhormat) dan yang mengantarkan mereka tidak diganggu atau mengganggu oleh pakaian tersebut.
Wallahu a’lam.
Sumber: www.academia.edu