Pergeseran makna kasta "SUDRA"

Kaum Sudra
PIXABAY

Dalam perkembangan sejarah babat tanah jawa, banyak kajian  yang mengungkap bahwa masyarakat tanah Jawa tempo dulu menerapkan sistem kasta atau golongan yang membedakan tingkat atau pangkat dalam tatanan sosial budaya pada masa itu.

Kasta sendiri berasal dari bahasa Spanyol dan Portugis “casta” yang artinya adalah pembagian masyarakat. Kasta sebenarnya merupakan perkumpulan tukang-tukang atau orang-orang ahli dalam bidang tertentu. Kasta  diterapkan pada masa kerajaan Hindu Nusantara. wikipedia

Khusus untuk kasta Sudra, banyak penjelasan yang menyebut bahwa kasta ini adalah kasta paling rendah yang bertugas untuk menjadi pelayan bagi ketiga kasta di atasnya yaitu Brahmana, Ksatria, dan Waisya.
Budayawan NU, AGUS SUNYOTO
flickr.com


Namun menurut sejarawan NU, KH. Agus Sunyoto, makna kasta sudra pada zaman walisongo agak berbeda dari penjelasan kebanyakan. Pada zaman Walisongo terdapat tujuh struktur golongan masyarakat yang ditetapkan secara unik. Golongan tersebut di ukur dari keterikatan seseorang dengan kebutuhan duniawi. Makin kuat keterikatannya, makin rendah golongannya, dan sebaliknya golongan yang tidak memiliki keterikatan dengan dunia menjadi golongan yang paling tinggi derajatnya.

Pertama, adalah golongan Brahmana. Mereka biasanya tinggal di hutan, di pertapaan, dan tidak punya kekayaan pribadi. Nah, mereka ini menemati kasta paling tinggi.
Pada golongan ini adalah para pemuka agama atau orang suci lainnya.

Kedua, adalah golongan Ksatria. Golongan ini tidak di perbolehkan memiliki kekayaan pribadi namun hidupnya di jamin oleh Negara. Yang termasuk dalam golongan ini adalah para kepala dan anggota pemerintahan seperti raja, pati, tumenggung dan sebagainya.

Jadi bisa dikatakan peradaban zaman walisongo sudah cukup maju karena para anggota pemerintahan dilarang memperkaya diri sendiri.

Ketiga, golongan Waisya. Itu adalah golongan para petani, mereka memiliki tugas menumbuhkan tanaman makanan untuk manusia. “Dia lebih rendah golongannya kenapa?  Karena sudah punya rumah, sawah dan ternak,” ujar KH. Agus Sunyoto

Keempat, golongan sudra. Siapa mereka? Menurut kitab Salokantara dan Nawanadya, yang dimaksud dengan sudra ada beberapa kalangan :
  1. Saudagar, orang yang memiliki kekayaan berlebih. Pikirannya selalu tentang untung rugi.
  2. Rentenir, orang yang meminjamkan uang dengan mendapat imbalan bunga
  3. Orang yang meminjamkan perhiasan, pakaian termasuk juga tuan tanah dan pemilik aneka kekayaan lainnya.
BACA JUGA :

Kelima, golongan Candala. Golongan ini adalah orang yang hidup dari pekerjaan berupa membunuh mahluk lain. Tukang jagal, pemburu, masuk dalam golongan ini. Termasuk aparat Negara yang bergelar Singanegara dan Singamenggala yaitu para algojo yang membunuh pelanggar hukum pun masuk dalam golongan ini.

Keenam, golongan Mleca. Golongan ini adalah orang asing yang bukan pribumi atau saudagar. Mungkin hal itulah yang membuat islam tidak mudah diterima sebelum zaman Walisongo, “karena yang membawa kesini adalah orang asing dan  saudagar yang sudra. Rangkep sudah, jadi warga pribumi belum mau menerima,” tandasnya

Ketujuh, golongan Tuja. Golongan ini adalah seseorang yang hidupnya selalu merugikan masyarakat. Para penipu, maling, rampok dan sejenisnya masuk dalam golongan ini.

Walisongo adalah Brahmana

Menurut KH. Agus Sunyoto, para Walisongo menempati kasta tertinggi yaitu posisi Brahmana. Para sunan tersebut dianggap sebagai orang suci, oleh karena itu masyarakat mudah untuk menerima ajaran Islam waktu itu. Pendapat ini sekaligus mematahkan anggapan bahwa Islam disebarkan oleh para saudagar, karena saudagar termasuk dalam golongan Sudra.

Orang Sudra tidak memiliki otoritas apapun dalam berbicara masalah agama, jelas KH. Agus Sunyoto. Karena ada aturan yang disepakati masyarakat waktu itu bahwa yang berhak berbicara tentang agama hanyalah Brahmana.

Hal itu masuk akal juga, sebab jika yang berbicara kaum Sudra yang selalu memikirkan untung dan rugi, nanti agama bisa jadi komoditas dagangan, hehehe

Menurutnya, jika ditarik ke era modern seperti sekarang ini, kyai termasuk dalam golongan Brahmana. Bahkan pada zaman Majapahit sudah ada gelar tersebut, hingga zaman Mataram orang yang tidak bergelar kyai tidak boleh mengajar.

Namun, fakta di lapangan pada zaman sekarang ini apakah karena terlalu majunya teknologi atau apalah, sehingga banyak orang yang menganggap dirinya lebih berkompeten berbicara masalah agama sehingga kadang hanya bermodalkan copy paste sudah gampang menyalahkan pendapat orang lain. Naudzu billahi min dzalik


Sumber: NU Onlen


Postingan terkait: